Sejarah Melayu-Campa

Kerajaan Campa dari zaman ke zaman 

Campa, menurut literatur Cina bernama Lin Yi, yang muncul pada tahun 192 Masehi, terletak di bagian tengah negeri Vietnam sekarang, antara Gate of Annam (Hoanh Son) di utara dan Sungai Donnai di selatan. Penduduk Lin Yi berbicara dalam bahasa Cam dari rumpun Austronesia. Sejak awal Lin Yi adalah negeri yang takluk pada Cina dan membayar upeti kepadanya. Nama “Campa” disebut (dan dipakai) pertama kali dalam dua buah prasasti bahasa Sanskerta, satunya kencan 658 yang ditemukan di bagian tengah Vietnam dan satu lagi ditemukan pada tahun 668 di Kampuchea. Pada abad kedelapan, merupakan puncak kerajaan Campa, yang ditandai dengan luas kawasan dan kemajuan peradabannya. Saat ini Campa merupakan sebuah negara federal yang terdiri dari lima negara: Indrapura, Amarawati, Vijaya, Kauthara dan Panduranga, yang masing-masing negara itu memiliki administrasi masing-masing yang otonom, dengan ibukota Indrapura (Quang Nam sekarang). 

Kerajaan Campa memiliki hubungan diplomatik dengan negara tetangga dan tetangganya.Dengan Cina dan Vietnam di utara, Kampuchea di barat dan Nusantara di selatan. Campa secara teratur mengirim utusan-utusan, dan delegasi serta mengadakan hubungan ekonomi dan keagamaan dengan Cina. Ajaran agama yang dianut masyarakat Campa pada abad kedelapan dan sembilan adalah Budha Mahayana yang sampai ke Campa melalui biksu yang datang dari Cina. Hubungan dengan Nusantara dimulai ketika terjadi perampokan besar-besaran oleh orang Jawa pada akhir abad kedelapan. Dan hubungan itu menjadi lebih baik dalam bentuk hubungan perdagangan dan persahabatan 

Pada abad ke sembilan terjadi pergeseran orientasi Campa dari Cina ke India. Mulai zaman ini peradaban Campa termasuk sistem sosial, keagamaan dan lain sebagainya, dipengaruhi oleh Budaya India yang beragama Hindu dan Budha. Pada 939 muncul kekuatan baru di wilayah ini yakni Dai Viet (kemudian menjadi Vietnam), dan mulai sejak itu terjadi peperangan yang berkepanjangan antara Vietnam dan Campa, dan pada 982 Vietnam berhasil menghancurkan ibu kerajaan Indrapura, dan raja Campa memindahkannya jauh ke selatan yakni ke Vijaya (Binh Dinh sekarang), bahkan pada 1044 Dai Viet (Vietnam) berhasil menduduki kota Vijaya dan membunuh rajanya. Berbagai usaha pernah dilakukan raja-raja Campa untuk membalas dendam dan menyerang Vietnam, tapi kenyataannya pada setiap penyerangan, justru Vietnam semakin dapat memperbesar kawasan dan mencaplok Campa. Pernah kerajaan Campa kembali pada kejayaannya dalam waktu singkat, ketika diperintah oleh Che Bong Nga (1360-1390), karena dia berusaha mengembalikan wilayah yang dirampas Vietnam, dan dia memerintah dengan cukup adil dan berhasil memerangi perompak. 

Pada 1471 raja Vietnam Le Thanh Tong menyerang Campa secara besar-besaran, dan menghancurkan Vijaya, membunuh lebih 40.000 penduduk, mengusir lebih dari 30.000 lainnya dari bumi Campa, dan bahkan menghancurkan apa saja sisa-sisa kebudayaan Campa yang dipengaruhi Hindu / Budha, dan kemudian menggantikannya dengan kebudayaan China / Vietnam. Dengan kemenangan Le Thanh Tong pada 1471 itu, maka tamatlah riwayat Kerajaan Campa belahan utara, khususnya Indrapura, Amarawati dan Vijaya. 

Selanjutnya yang bertahan adalah sisa-sisa kerajaan Campa belahan selatan Kauthara dan Panduranga yang diperintahi oleh Bo Tri Tri dan pengganti-penggantinya. Kerajaan Campa mulai menerima kebudayaan Melayu dan Islam yang masuk melalui pelabuhan Panduranga dan Kauthara, dan meningkatkan hubungan dengan tanah Melayu dan Nusantara, dikabarkan raja Campa bernama Po Klau Halu (1579-1603) sudah memeluk Islam, bahkan telah mengirim tentaranya untuk membantu Sultan Johor di Semnenanjung Tanah Melayu untuk melawan Portugis di Malaka tahun 1511. 

Namun sayang sekali lagi raja Nguyen dari Vietnam menaklukan Kauthara (1659) dan Panduranga (1697). Raja Panduranga terakhir Po Cei Brei terpaksa mengungsi meninggalkan negerinya bersama ribuan pengikutnya menuju Rong Damrei di Kampuchea.Pada 1832, Penguasa Vietnam Minh menh melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap sisa terakhir penduduk Campa Panduranga, merampas seluruh sawah ladang mereka, dan memasukkan wilayah Panduranga menjadi bagian Vietnam. Dan hal itu menandai lenyapnya Sisa Kerajaan Campa terakhir dari peta bumi untuk selamanya, meskipun kebudayaan dan etnis Campa tetap berlanjut tapi sudah berada di pengungsian yakni Kampuchea. 

Kehadiran Orang Campa dan Melayu di Kampuchea 

Seperti telah diuraikan sebelumnya, banyak orang Campa yang meninggalkan tanah airnya karena desakan Nam tien atau gerakan orang-orang Vietnam ke selatan. Untuk menyelamatkan diri mereka hijrah ke Kampuchea. Di Kampuchea mereka bertemu dengan kelompok Melayu yang datang dari Nusantara. Terjadilah akulturasi budaya karena persamaan agama, dan rumpun bahasa Austronesia, ke dalam masyarakat baru yang disebut Melayu-Campa atau JVA-Cam. 

Kehadiran masyarakat Melayu di Kampuchea dimulai sejak beberapa abad sebelumnya.Sumber-sumber Khmer menyebutkan bahwa dalam abad ke 7, kaum JVA telah menghuni beberapa wilayah Khmer yang datang sebagai pedagang, pelaut dan tentara laut. 

Selama abad ke 15 hubungan dunia Melayu dan Kampuchea meningkat dari segi ekonomi dan agama. Banyak pedagang dan penyebar agama tiba di Kampuchea. Menurut sumber-sumber Melayu di Kampuchea, kebanyakan orang Melayu berasal dari Kalimantan, Jawa, Sumatera, Singapura, Trenggano dan Patani. Bahkan untuk waktu-waktu tertentu kepala Melayu telah menjalin kerjasama dan saling membantu dengan Raja-raja Khmer. 

Gelombang migrasi masyarakat Campa di Kampuchea adalah setelah 1471 ketika Vietnam menduduki Vijaya, gelombang berikutnya setelah 1697 ketika Vietnam menduduki Panduranga, dan terakhir karena mengalami siksaan luar biasa pada 1832. Migrasi Campa terjadi karena melarikan diri dari penghancuran Vietnanm, sedang migrasi Melayu dari Nusantara terjadi karena perdagangan dan penyebaran agama Islam. Dan kedua etnis berbeda asal usul ini bersatu dalam satu agama yakni Islam di negeri asing bernama Kampuchea. Kedua suku ini karena persamaan nasib, dan persamaan agama, akhirnya bekerja dan bercampur sehingga melahirkan etnis baru yang disebut Melayu-Campa. Oleh penguasa Khmer masyarakat Melayu-Campa ini dipersilahkan untuk berdiam di wilayah Oudong (ibu nregara Khmer waktu itu), wilayah Thbaung Khmum, Stung Trang dan daerah-daerah Kompot, Battambang dan Kampung Luong sekarang ini. 

Masyarakat Melayu-Campa membentuk komunitas khusus yang dikenal sebagai “Cam-JVA”.Kata “JVA” berasal dari kata “Jawa” yang ditafsirkan masyarakat Kampuchea sebagai semua masyarakat Melayu dari manapun asalnya. Mungkin mereka berasal dari Pulau Jawa, Sumatera atau mana-mana negeri di Semenanjung Tanah Melayu dan Patani. Istilah “cam” merujuk kepada penduduk yang berasal dari kerajaan Campa yang pada zaman dahulu terletak di tengah Vietnam sekarang. Karena kedua masyarakat Melayu dan Cam menganut agama Islam dan termasuk di dalam kelompok linguistik Austronesia, maka masyarakat Khmer menggolongkan mereka kepada kelompok “Cam-JVA” atau “Melayu-Campa”. 

Pada tahun 1874 penduduk Melayu-Cam berjumlah 25.599 orang. Sepuluh persen penduduk Phnom Penh adalah Melayu-Cam. Di daerah-daerah pemukiman Melayu-Campa ini banyak kita temui Masjid dan surau, serta tempat pendidikan agama. Kebanyakan Melayu-Campa bekerja sebagai petani, nelayan, peternak sapi dan pedagang yang handal, sebagian lainnya berfungsi selaku kaki tangan pemerintah, mulai dari pegawai peringakat kampung chumtup, mekhum, mesrok dan chaway Srok, bahkan juga ada yang bertugas sebagai tentara dan memegang jabatan politik . 

Keseluruhan membuktikan bahwa masyarakat Melayu-Cam telah benar-benar merasa Kampuchea sebagai negara bangsanya sendiri tanpa terkecuali, dan telah memberikan kesetiaannya kepada Kampuchea, termasuk ketika penjajahan Perancis. Sebaliknya pemerintah Khmer tidak menganggap Melayu-Cam sebagai pendatang dan orang asing, tapi warga negara bukan pribumi, sebagaimana banyak orang semacam itu lainnya. 

Kampuchea merdeka dari jajahan Prancis tanggal 9 Nopember 1953, di bawah kepala Negara Norodom Sihanouk. Namun sayangnya masyarakat Melayu-Cam tidak disebutkan dari sudut etniknya, yakni etnis Melayu-Cam, tapi disebut Khmer Islam, sebutan yang dipopulerkan hingga ke hari ini. 

Belakangan kelompok-kelompok minoritas yang dilindungi di daerah Pays Montagards du Sud (PMS) yang mencakup Kontum, Pleiku, Ban Methuot, Djing dan Dalat yang ada di Vietnam Selatan, dihapus dan seluruhnya dianggap masyarakat Vietnam. Hal yang sama juga dialami oleh sisa-sisa minoritas Cam di Vietnam dan Khmer Krom (masyarakat Khmer yang berdiam di Vietnam Selatan). Oleh sebab itu, masyarakat Melayu-Cam di Kampuchea berusaha berjuang bersama masyarakat PMS di Vietnam dan orang-orang Khmer Krom, membentuk aliansi yang disebut FULRO (Front Unifie de Lutte des Races Oprimees atau Front Pembebasan Ras-ras Tertindas). FULRO mencakup kombinasi Front de Liberation du Champa (Front Pembebasan Campa), Front de Liberation du Kampuchea Krom (Front Pembebasan Kampuchea Krom) dan Front de Liberation du Kampuchea Nord (Front Pembebasan Kampuchea Utara). 

Anggota departemen kekuasaan FULRO terdiri dari Presiden Chau Dara dan dua orang wakil presiden: Y. Bham Enoul (seorang Rade dari Ban Methuot) dan Po Nagar (seorang tentara Kapuchea yang berasal dari Kompong Cam, yang di kalangan Islam dikenal dengan Les Kosem). Les Kosem seorang tentara terjun payung Kapuchea, yang pada tahun 1970 diangkat menjadi general, dia merupakan pimpinan mulayu-Cam yang berpengaruh dalam angkatan tentara dan politik Khmer. Pada masa pemerintahan Lon Nol, nasib Melayu-Cam agak lebih baik, karena kepercayaan dan berbagai posisi diberikan pada Melayu-Cam dan FULRO. Les Kosem ditunjuk menjadi mediator dalam menyelesaiukan berbagai konflik intern Muslim dan perwakilan Kapuchea ke berbagai negara Muslim. Tapi setelah jatuhnya Kampuchea ketangan Khmer Rouge, Les Kosem melarikan diri ke Malaysia dan meninggal di Jakarta tahun 1976. 

Saat rezim Pol Pot dari Khmer Rouge (1975-1979), ribuan orang Kampuchea telah disiksa dan dibunuh karena diyakini bekerjasama dengan rezim Lon Nol dan karena alasan agama yang dianutnya. Seperti diketahui bahwa Khmer Rouge adalah penganut ajaran Komunisme radikal, dan menghambat kebebasan beragama. Melayu-Cam yang beragama Islam merasakan penderitaan yang amat sangat berat. Masyarakat Melayu-Cam dan Khmer Islam dipaksa meninggalkan tradisi keagamaan mereka, nama yang memiliki konotasi Islam, dihapus, Masjid dan madrasah tidak difungsikan atau dikurangi jumlahnya, kebiasaan-kebiasaan agama lainnya dihapus. Al-Qur’an dan bacaan-bacaan keagamaan lainnya dimusnahkan. Budaya dalam bentuk aktifitas-aktifitas, pakaian, makanan dan asesoris Islam lainnya dilenyapkan, termasuk nama dan gelar keagamaan. 

Pada tanggal 17 April 1975, pasukan khusus Khmer Rouge yang disebut angkar, telah melakukan pencarian dan penyisiran diikuti penyiksaan terhadap siapa saja yang mereka curigai berdasarkan Lon Nol. Pada 20 Mei 1975, Pol Pot telah melakukan diskriminasi sosial berdasarkan pilihan politik dan agamanya, sehingga yang ada hanya dua pilihan: “ikut Pol Pot atau menolak Pol Pot”. Mereka yang dianggap menolak Pol Pot mengalami nasib yang tidak pernah terjadi dalam sejarah umat manusia, yakni pembantaian besar-besaran. 

Diperkirakan antara satu sampai tiga juta orang telah dibunuh atau mati karena kekurangan makanan, satu juta diantaranya adalah Melayu-Campa. Dan sekitar enam juta lainnya mengalami trauma berat karena ketakutan yang sangat berat. Umat ​​Islam karena alasan ideologi dan keagamaan serta merupakan “kaum pendatang” adalah umat paling menderita, mereka dipaksa berpisah dengan kaum sesama umat Islam, atau diusir ke hutan dan gunung atau bagi yang mampu ada yang melarikan diri ke Luar Negeri, yang paling banyak lari ke Kelantan (Malaysia), Vietnam dan Thailand serta negara-negara barat. 

Meskipun Kher Rouge hanya memerintah selama empat tahun, tapi akibatnya dari aspek budaya, banyak rakyat Khmer Islam dan Melayu-Camp yang sudah tidak kenal agamanya, tidak pandai tulis baca Arab dan Campa. Pol Pot berhasil mengikis habis identitas keislaman dan Ke-Campa orang-orang Melayu Campa. 

Barulah setelah jatuhnya rezim Pol Pot dan diperintah oleh Hun Sen dan Raja Sihanouk, masyarakat Melayu-Cam/Khmer Islam kembali merasakan sedikit kemerdekaan beragama.Masjid sudah mulai difungsikan kembali demikian juga madrasah-madrasah. Masyarakat Islam ditempatkan di bawah dewan yang terdiri dari enam orang yang ditunjuk oleh raja.Dewan Agama Islam Kampuchea (MAIK) dipimpin oleh seorang Changvang (mufti), sekarang dijabat oleh Uztadz Kamaruddin Yusof, dibantu oleh dua orang Asisten Mufti (sekarang Uztadz Yusof Kadir dan Uztadz Arsyad), dilengkapi dengan tiga orang Penasehat (sekarang YB Math Ly, YB pulsa Loh dan YB Ismail Osman). Di setiap desa ada seorang pemimpin spritual bergelar Hakim. Di daerah Trea (Kompong Cham) didirikan sekolah madrasa Hafiz al-Qur’an, kemudian diikuti Sekolah Dubai di KM 9 Pnomh Penh, Darul aitam di Pochentong, Serkolah Ummul Kura di Chrouy Metrei. Madrasa Hajjah Rohimah Tambichik di Nohor Ban dan Ma’had al-Muhammady di Beng Pruol. Sebenarnya sebelum rezim Kher Rouge memerintah Kampuchea, banyak siswa Kampuchea melanjutkan studinya ke Malaysia, Thailand Selatan, Egypt, Arab Saudi dan Kuwait. 

Saat ini solidaritas dari badan-badan Islam Internasional, dan umat Islam antara bangsa telah muncul, karena nasib umat Islam di Kampuchea yang begitu menyedihkan. Rabithah Alam Islami di Mekkah, Konferensi Negara-Negara Islam (OKI) dan lain sebagainya telah menya 
lurkan berbagai bantuan, mulai dari pengiriman mushaf Al-Qur’an sampai bantuan rehabilitasi Masjid dan melakukan advokasi (pembelaan) nasib umat Islam tersebut.Lembaga-lembaga keagamaan, seperti Jema’ah Tabligh dan Darul Arqam serta Regional Islamic Da’wah Council of South East Asia And Pacific (RISEAP) dari Malaysia mendatangkan guru dan pengkhotbah / ulama serta melakukan berbagai kunjungan silaturrahmi. Saat ini sudah dikukuhkan 320 desa orang Islam, 110 diantaranya terdapat di propinsi Kompong Cham, juga sudah dikembalikan fungsinya dan direhabilitasi bangunannya sebanyak 270 masjid dan surau, dan dikikuhkan 600 orang Tuan dan Hakim.Propinsi lainnya yang juga kuat umat Islamnya adalah Propinsi Battambang dan Kampot. 

Di Kampuchea terdapat empat asosiasi Umat Islam: yakni Samakum Islam Kampuchea (Persatuan Islam Kampuchea) di bawah kepemimpinan YB Math Ly. Samakum Khmer Islam Kampuchea (Asosiasi Khmer Islam Kampuchea) dipimpin oleh YB Wan Math. Samakun Islam Preah Reach Anachakr Kampuchea (Persatuan Islam Kerajaan Kampouchea) di bawah pimpinan YB Ahmad Yahya, Dan Samakum Cham Islam Kampuchea (Asosiasi Cam Islam Kampuchea) dipimpin guru bernama Guru Zain yang tinggal di Prek Pra. Kedua istilah: Khmer Islam dan Cam sama-sama diterima dan dipakai secara resmi. Selanjutnya juga ada Yayasan seperti Cambodian Muslim Development Foundation dan Combodian Islamic Development Community. Dan tentu saja tidak bisa dilupakan adalah organisasi intelektual Muslim Kampuchea Cambodian Muslim Intelectual Alliance (CMIA) yang menyelenggarakan acara kita saat ini. 

Adapun tokoh-tokoh Islam Kampuchea yang terkenal karena posisinya yang dekat dengan pantadbiran antara lain: YB Math Ly (anggota parlemen, wakil Perdana Menteri dan mantan Menteri Pendidikan). Onkha Othman Hassan (anggota parlemen, penasehat Perdana Menteri), YB Ahmad Yahya (Anggota parlemen), HE Ismail Yusoff (anggota parlemen), YB Ismail Osman (Anggota parlemen dan wakil di kementrian Urusan Kepercayaan dan Agama). YB Zakariyya Adam Osman (wakil menteri di Kementrian Urusan Kepercayaan dan Agama). Hubungan Budaya Melayu Campa dan Asia Tenggara Seperti sudah disebutkan, ada dua etnis yang menyatu di Kampuchea, yakni Melayu-Cam. Orang Kampuchea menyebut mereka dengan “Cam-JVA”. Istilah “JVA”, yang berasal dari kata Jawa. Meskipun di Kampuchea istilah “JVA” tidak di maksudkan hanya untuk orang Jawa, tapi seluruh orang Melayu atau Nusantara, termasuk Semenanjung Tanah Melayu dan Patani. Sedang “Cam”, atau Cham berasal dari etnis atau (pemerintah lama) Campa. Kalau orang Melayu merantau dari Tanah Melayu atau Nusantara, maka orang Cam mengungsi secara besar-besaran dari tanah asal mereka di bagian tengah Vietnam sekarang, dan keduanya yang kebetulan berasal dari rumpun bahasa yang sama yakni Austronesia, dan belakangan memiliki agama yang sama, yakni Islam, maka kedua etnis tersebut dengan cepat menyatu dan melahirkan etnis JVA-cam atau Melayu-Campa. Meskipun orang Kampuchea tidak dapat membedakan orang Melayu, tapi dari kalangan Melayu sendiri , membagi Melayu menjadi tiga kategori: (1) Orang JVA Krabi (dalam bentuk tulisan Chhvea Krabei) menunjukkan orang Melayu yang berasal dari Pulau Sumatera, khususnya Minangkabau. Krapi dalam bahasa Kampuchea berarti “Kerbau”, diperkirakan menggunakan istilah JVA Krabi, karena konon kabarnya dahulu kala kerbau orang Minangkabau menang melawan kerbau yang dibawa dari Jawa. (2) Orang JVA Ijava (Chhvea iava), maksudnya orang Melayu yang berasal dari Pulau Jawa. (3) Orang JVA Malayu (chhvea Malayou), menunjukkan orang Melayu yang datang dari negeri-negeri Semenanjung Tanah Melayu dan Patani. Hijrahnya orang Melayu dari Nusantara, dalam rangka berdagang atau karena mereka anak maritim yang senang mngembara dilautan lepas, diperkirakan setelah masuknya Islam di Nusantara, sehingga mereka ikut membawa Islam ke Kampuchea. Proses imigrasi itu diperkirakan berlangsungabad ke 13 dan 14. Orang Melayu telah memainkan perannya yang besar dalam mengajarkan Islam di Kampuchea. Raja Khmer sering memberi gelar kepada tokoh-tokoh Islam, seperti “Onkha To Koley”, berasal dari Ukana To ‘Kali. Koley berasal dari kata Kalih (bahasa Melayu) atau Kadi (bahasa Arab yang berarti Hakim). Julukan “Onkha Reachea Mu Sti”, berasal dari Ukana Raja Mufti. Mufti (bahasa Arab berarti pemberi fatwa), sedang “Onkha Reachea Peanich”, berasal dari Ukana Raja Sampatti, senopati (bahasa Jawa yang berarti perwira) yang bertanggug jawab dalam bidang bisnis dan ekonomi. Pada akhir abad ke 16, sumber-sumber Khmer menyebutkan ada dua tokoh Melayu-Cam, bernama Po Rat atau Cancona (berasal dari Cam) dan Laksmana (dari Melayu), yang berbakti pada Raja Ram I (Ram dari Joen Brai (1594-1596), kedua mereka ini dikenal sebagai pemimpin tentara yang sangat kuat dan handal, dan dipercaya memadamkan berbagai pemberontakan dan diantar memimpin ekspedisi ke berbagai wilayah. Sebagai balas jasa, Raja Khmer menghadiahkan wilayah Thbaung Khum untuk mereka jadikan sebagai tempat tinggal keturunan dan masyarakat Islam lainnya.